Beruntunglah Mereka yang Menikah Sebelum Mapan

“Kamu harus mapan dulu, baru menikah, biar nggak dipandang sebelah mata sama suami kamu,”

“Cari calon suami yang mapan, supaya hidup kamu terjamin dan bahagia,”

Anda dan banyak perempuan (termasuk saya) pasti pernah mendengar nasihat senada. Banyak sekali orang memberikan wejangan bahwa menikah dan kemapanan seharusnya jadi satu paket: Mapan dulu baru menikah.

Terlepas dari persepsi berbeda tentang kemapanan, apakah benar jika ingin menikah harus mapan dulu atau mendapat calon suami mapan?

Ada sebuah tulisan menarik dari Fahd Pahdepie, penulis buku Rumah Tangga. Tulisan dengan judul Menikahlah Sebelum Mapan! sangat layak untuk menjadi bacaan perempuan Indonesia, terutama Anda yang sedang mempersiapkan pernikahan atau yang masih ragu menikah karena belum mapan.

***

Beruntunglah mereka yang menikah sebelum mapan. Berbahagialah mereka yang mendapatkan pasangan yang belum mapan.

Banyak laki-laki yang menunda menikah dengan alasan ‘belum mapan’. Saya tak ingin memperdebatkan apa definisi ‘mapan’ di sini, karena mapan bagi setiap orang punya ukuran yang berbeda-beda.

Tapi, bagi mereka yang masih ragu untuk menikah karena menunggu mapan, izinkanlah saya memberi nasihat yang baru: Menikahlah sebelum mapan!

Saya selalu suka kalimat John Donne yang pernah juga dipelesetkan Abraham Heschel, katanya: ‘No man is an island’, tak ada laki-laki yang menjadi pulau bagi dirinya sendiri. Artinya, tak ada seorangpun yang bisa hidup sendirian—seperti sebuah pulau yang tak membutuhkan orang lain.

Setiap orang selalu membutuhkan orang lain untuk berbagi dan mengisi sesuatu yang ‘kosong’ dalam hidupnya. Dalam konsep ini, menurut Donne, tak ada seorang pun di dunia ini yang ‘mapan’.

Jika seorang yang hendak menikah memiliki cara berpikir demikian, maka pernikahan bisa didekati dengan cara yang lebih rendah hati. Jika seorang laki-laki bisa berpikir ‘saya belum mapan’, misalnya, maka ia akan mendekati istrinya sebagai seseorang yang akan menyempurnakan hal-hal yang belum mapan dalam dirinya.

Bagi saya, mapan tentu saja bukan soal kekayaan atau kepemilikan saja, mapan adalah soal kesanggupan individu dalam menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya.

Kalau mapan hanya soal uang atau karir, bukankah banyak yang berlebih secara materi dan gemilang di tempat kerja tapi tak sanggup menghadapi ego dan amarahnya sendiri? Nah!

Dengan pemahaman baru “menikah sebelum mapan”, seseorang akan menghadapi pasangannya dengan penuh penghargaan. Karena ia sadar bahwa dalam diri pasangan tersebut ada sisi-sisi yang akan menyempurnakan dirinya.

Bayangkan kalau cara berpikir seperti ini tidak ada dalam sebuah pernikahan, hubungan suami-istri akan melulu atas-bawah, subordinatif, dan cenderung tidak adil.

Tidak sedikit suami yang karena merasa bahwa dialah yang memiliki penghasilan, dialah yang punya uang, dialah yang hidupnya mapan, dialah yang bersinar di dunia luar, malah merendahkan dan tidak menghargai istrinya.

Jika nekat menikah sebelum mapan, lantas istri dan anak mau dikasih makan apa? Dikasih makan cinta? Barangkali pertanyaan itu benar-benar terasa mengganggu.

Tapi orang-orang lupa bahwa mapan tak sama dan sebangun dengan rasa tanggung jawab. Yang dibutuhkan dalam pernikahan bukanlah harta yang berlimpah, tapi rasa tanggung jawab yang cukup.

Percuma saja punya kekayaan banyak tapi tak bertanggung jawab, kan? Banyak kok suami yang rela membuat istri dan anak-anaknya susah tetapi memanjakan dirinya sendiri,malah memanjakan selingkuhannya. Artinya, harta yang banyak tak akan berarti apa-apa dalam pernikahan jika kita tak punya banyak cinta untuk menjalaninya.

Sumber: vemale.com

Tags